Impartial Mediator Network sebagai lembaga professional mediator yang bergerak dalam layanan fasilitasi mediasi konflik khususnya sumberdaya alam memang telah berdiri sejak 2013. Dalam perjalanannya, menjelang tahun ke-6 ini IMN yang beranggotakan sekitar 30 orang mediator bersertifikat ini telah banyak melakukan pelayanan terhadap fasilitasi mediasi konflik SDA, assessment (pemetaan) konflik, penguatan kebijakan dan juga peningkatan SDM. Tercatat sampai dengan 2018, 17 konflik telah diassessment, 20 konflik tertangani melalui mediasi, 12 dukungan terhadap kebijakan – kebijakan guna mendorong percepatan penanganan konflik dan juga 30 peningkatan kapasitas berupa pelatihan.
Sebagai sebuah lembaga yang mendedikasikan diri untuk pengarusutamaan mediasi sebagai cara penyelesaian konflik/sengketa, tentu IMN mengharapkan ke depan lebih banyak orang yang tergerak untuk mengedapankan proses – proses musyawarah, dialog dan diskusi dalam penyelesaian konflik. Selain itu, trend penanganan konflik sampai saat ini masih didominasi penanganan konflik melalui jalur litigasi (pengadilan) dibandingkan dengan jalur non litigasi (alternatif penyelesaian sengketa). Selaras dengan hal tersebut, tentu saja implikasi dari banyaknya sengketa/konflik yang masuk ke pengadilan menjadikan penumpukan kasus yang cukup banyak di pengadilan. Munculnya Perma 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan sejatinya menjawab permasalahan tersebut. Dalam salahsatu klausulnya disebutkan bahwa, “Semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan termasuk perkara perlawanan (verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak berperkara (partij verzet) maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui Mediasi, kecuali ditentukan lain berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung ini” (Pasal 4 ayat 1). Dalam prosedurnya juga disebutkan bahwa mediasi yang dilakukan di pengadilan terbuka untuk pilihan menggunakan mediator hakim ataupun non hakim dengan pra syarat telah mendapatkan sertifikat profesi mediator yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung atau lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung.
Oleh karenanya, IMN yang juga memberikan layanan peningkatan kapasitas telah berupaya mengajukan kepada Mahkamah Agung agar dapat diakreditasi menjadi lembaga penyelenggara pelatihan dan pendidikan mediasi sehingga mampu mencetak mediator yang mampu beracara di pengadilan. Selama lebih dari 3 tahunan, IMN memang melaksanakan berbagai pelatihan mediator meski belum dapat mengeluarkan sertifikat profesi. Namun sejak 2017, IMN mulai melengkapi persyaratan untuk dapat diakreditasi secara resmi dari Mahkamah Agung.
Kini 2 tahun berlalu, terjawab sudah penantian di penghujung tahun lalu. Di awali dengan respon cepat dari Mahkamah Agung yang ditandai dengan visitasi (kunjungan) jelang akhir tahun 2018 lalu untuk penilaian lembaga IMN, per tanggal 18 Januari 2019 Surat Keputusan dari Ketua Mahkamah Agung RI No. 14/KMA/SK/I/2019 telah resmi diterbitkan dan menyatakan bahwa Impartial Mediator Network (IMN) sebagai lembaga yang terakreditasi untuk penyelenggara pelatihan dan pendidikan mediasi non hakim.
Dengan terbitnya surat keputusan ini tentunya membuka peluang IMN untuk lebih banyak menularkan ilmu – ilmu praktek di lapangan khususnya dalam penanganan konflik/sengketa sumberdaya alam. Selain itu diharapkan nantinya alumi – alumni yang telah tersertifikasi mediator dari IMN dapat mengimplementasikan profesinya baik di Pengadilan Negeri setempat ataupun non pengadilan sebagai salahsatu upaya pengurangan penumpukan kasus di jalur litigasi. (aru)