Dalam pembukaan dan pengelolaan perkebunan kelapa sawit, seringkali kali dijumpai konflik yang terjadi antara pelaku usaha dengan masyarakat setempat atau antar perusahaan lain. Semenjak awal, upaya antisipasi perlu dilakukan supaya menghindari dampak kerugian konflik yang mesti ditanggung pelaku usaha.
Tudingan bahwa perkebunan kelapa sawit menjadi pemicu konflik perlu menjadi perhatian serius pemangku kepentingan sawit di negeri ini, karena semenjak beberapa tahun terakhir kasus konflik perkebunan kian meningkat seiring dengan perluasan lahan kelapa sawit. Achmad Mangga Barani, Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan, mengatakan konflik yang terjadi di perkebunan lebih banyak berkaitan dengan masalah lahan misalkan saja perusahaan yang berencana membebaskan lahan dapat berpotensi menciptakan konflik dengan masyarakat.
Menurut Achmad Mangga Barani, faktor penyebab konflik perkebunan dipicu oleh keterbatasan lahan sehingga lebih mudah menimbulkan konflik di daerah. Lain halnya, kalau lahan masih tersedia maka potensi konflik tidak terlalu besar. Selain itu, faktor kesejahteraan masyarakat juga mendorong konflik yang terjadi di perkebunan.
Berdasarkan analisis Achmad Mangga Barani, penyebab konflik di lahan perkebunan sawit ditimbulkan oleh tiga aspek yakni pengusaha, pemerintah dan masyarakat/lembaga swadaya masyarakat.
Pertama, konflik yang ditimbulkan oleh pemerintah dapat terjadi akibat peraturan yang dikeluarkan pemerintah pusat dan daerah tidak sejalan. Dampaknya, papar Mangga Barani, terjadi tumpang tindih kepentingan penggunaan lahan seperti antara perebutan lahan antara perkebunan dengan tambang, perkebunan dengan perkebunan, dan perkebunan dengan hutan. Di daerah, konflik yang terjadi antar perusahaan perkebunan karena arahan yang dikeluarkan pemerintah daerah menunjuk lahan yang sebenarnya sudah dimiliki perusahaan perkebunan lain. “Jadi, perusahaan perkebunan itu memperebutkan lahan yang sama dengan berpegangan kepada izin dari bupati setempat,” ujar dia.
Sadar atau tidak, menurut Mangga Barani, pemerintah juga berperan terhadap konflik yang terjadi di perkebunan sawit. Sebagai contoh, pengusaha yang mengajukan permohonan perpanjangan Hak Guna Usaha lahan sawitnya tetapi prosesnya lambat di tingkat Badan Pertanahan Nasional dan lama dikeluarkan. Akibatnya, lahan tersebut berpotensi menjadi rebutan pihak lain dan terancam diokupasi masyarakat setempat, karena status HGU lahan dianggap sudah tidak lagi diperpanjang.
Faktor lainnya adalah pengawasan pemerintah terhadap kondisi lapangan sangatlah kurang. Pengawasan ini berkaitan dengan implementasi peraturan yang seringkali bertabrakan dengan regulasi lain. Dengan wewenang lebih besar di pemerintah daerah, idealnya konflik lahan perkebunan sawit dapat ditekan karena pemerintah setempatlah yang mengetahui lebih pasti kondisi di wilayahnya.
Kedua, faktor pemicu konflik diciptakan oleh perusahaan. Achmad Mangga Barani menjelaskan, pemicu konflik disebabkan pula oleh tindakan perusahaan semisal ketika membuka lahan tidak mensosialisasikan kegiatan operasionalnya dulu kepada masyarakat. Padahal sosialisasi ini penting supaya perusahaan juga dapat memerhatikan aspek sosial dan lingkungan dengan mendengarkan masukan dari masyarakat sebagai contoh terdapat makam leluhur di lahan itu sebaiknya dapat dikonservasi oleh perusahaan.
Tak hanya itu, tindakan perusahaan yang mengabaikan alokasi lahan plasma juga mendorong sikap resisten masyarakat terhadap kehadiran perkebunan kelapa sawit. Hal ini pun jelas melanggar Undang-undang nomor 18 Tahun 2004 mengenai perkebunan. Achmad Mangga Barani menegaskan penyediaan lahan plasma menjadi keharusan supaya masyarakat tidak lagi menjadi penonton saja dengan kehadiran perkebunan sawit di daerah mereka.
Pemicu konflik juga berasal dari tindakan masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat. Bentuknya seperti kasus penyerobotan areal perkebunan sawit perusahaan yang dilakukan masyarakat khususnya terhadap lahan yang belum diberikan perpanjangan HGU. Rendahnya kesejahteraan masyarakat petani ditengarai pula akibat tindakan mereka yang melakukan pemindahtanganan lahan plasma miliknya kepada pihak lain.
Modus lain yang dilakukan masyarakat lewat menuntut pengembalian lahan yang telah diberikan ganti rugi. Biasanya, kata Mangga Barani, tuntutan ini dilakukan oleh generasi sekarang padahal perjanjian jual beli lahan telah selesai dilakukan antara perusahaan dengan generasi sebelumnya.
Achmad Mangga Barani menganjurkan pemerintah supaya memecahkan masalah sengketa lahan dengan memperkuat dan memperjelas regulasi, sebagai contoh penuntasan tata ruang wilayah provinsi. Konsistensi dan sinergi peraturan semestinya dijalankan pula mulai dari pemerintah pusat sampai daerah.
Untuk perusahaan, dia mengajukan solusi supaya program kemitraan inti plasma dijalankan sungguh-sungguh dan lebih transparan. Program Corporate Social Responsability (CSR) diprioritaskan kepada masyarakat sekitar perkebunan dan harus menjawab apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. “Jadi, perusahaan membangun hubungan kemitraan yang saling menguntungkan dengan masyarakat. Dengan masyarakat yang sejahtera secara ekonomi maka konflik pun dapat ditekan,” kata Achmad Mangga Barani kepada SAWIT INDONESIA.
Mansuetus Darto, Koordinator Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), beberapa waktu lalu mengatakan penyelesaian konflik agraria di perkebunan kelapa sawit mesti diselesaikan dengan cara pemerintah mengatur skenario pembangunan road map kedaulatan dan kemandirian petani kelapa sawit. Langkah lain dapat pula membatasi Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan skala besar dengan waktu satu siklus tanaman. Untuk itu, pemerintah diminta lebih tegas kepada perusahaan sawit yang terlibat berkonflik dengan masyarakat. (amri)
Sumber :
http://www.sawitindonesia.com/tata-kelola/penanganan-konflik-di-perkebunan-sawit