Memahami Mediasi
Mediasi sesungguhnya berakar dari budaya bangsa Indonesia yaitu musyawarah untuk mufakat. Budaya musyawarah telah menjadi bagian dalam penyelesaian sengketa dalam masyarakat adat dan lokal. Secara parsial kebijakan hukum positif juga sudah banyak yang mengadopsi penyelesaian konflik melalui mediasi, baik mediasi di luar pengadilan maupun mediasi yang terkoneksi dengan sistem peradilan seperti dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 8 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Peradilan.
Namun demikian praktik penyelesaian konflik melalui jalur hukum formal atau pengadilan masih lebih dominan diselesaikan melalui putusan hakim bukan hasil dari mediasi. Dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa melalui mediasi masih sangat lemah dalam implementasi, baik akibat yang bersumber dari kelembagaan dan kapasitas pelaksananya maupun dari segi lemahnya itikad baik para pihak yang bersengketa.
Kebijakan Mediasi di luar peradilan sebenarnya sudah cukup banyak dimasukkan dalam kebijakan hukum positif yang bisa diberlakukan dalam penyelesaian sengketa Sumber Daya Alam, antara lain :
- UU nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang mulai berlaku sejak 12 Agustus 1999. Dalam UU ini para pihak yang bersengketa diutamakan menempuh jalur penyelesaian melalui negosiasi atau mediasi, jika tidak menghasilkan kesepakatan maka akan diteruskan ke proses arbitrase;
- UU nomor 41 tahun 1999 tentang pokok-pokok kehutanan, yang ditandatangani tanggal 30 September 1999, pada pasal 74 dan 75 yang substansi menegaskan bahwa penyelesaian konflik kawasan hutan wajib diselesaikan terlebih dahulu melalui musyawarak untuk mufakat, penyelesaian melalui pengadilan hanya bisa ditempuh jika kesepakatan tidak tercapai setelah melalui musyawarah (mediasi atau negosiasi);
- Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang PPLH, pada pasal 84 – 86 UU ini menyatakan bahwa penyelesaian melalui pengadilan hanya bisa ditempuh apabila penyelesaian melalui Mediasi tidak menemukan kesepakatan, dan untuk penyelesaian dibenarkan menggunakan mediator;
- Mediasi juga ada dalam Kebijakan lain yang berhubungan seperti UU nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman, sebagaimana di atur dalam UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak asasi manusia, dan terdapat juga dalam sengketa perbankan, asuransi dan sengketa konsumen;
- Surat keputusan Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia nomor 34 tahun 2007 tentang petunjuk teknis penanganan dan penyelesaian masalah pertanahan. Kebijakan ini termasuk penyelesaian konflik terkait tanah ulayat atau ulayat, terkait tanah milik, tanah objek land reform dan tanah partikelir. Tahapan penyelesaian yang diatur meliputi : (1) Pemetaan akar masalah; (2) Mekanisme penerimaan Pengaduan; (3) Pelaksanaan Gelar Perkara; (4) Pelaksanaan Proses Mediasi.
Di luar sektor sumber daya alam, mediasi di luar pengadilan juga telah diatur dalam banyak ketentuan perundang-undangan, antara lain :
- Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, (dalam Pasal 45);
- Undang-undang Nomor 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, (dalam Pasal 47);
- Undang-undang Nomor 31 tahun 2000 tentang Desain Industri, (dalam Pasal 47);
- Undang-undang Nomor 14 tahun 2001 tentang Paten, (dalam Pasal 124);
- Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merk, (dalam Pasal 84);
- Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, (dalam Pasal 4 dan Pasal 5).
Sebelum menentukan pilihan pendekatan dalam menyelesaikan konflik, maka sebaiknya pahami dulu apa yang menjadi keunggulan pendekatan mediasi dengan penyelesaian di pengadilan, hal ini bisa dilihat dari beberapa hal (karakteristik) yang mendasar di bawah ini :
Karateristik | Pengadilan | Mediasi |
Sifat | Tidak sukarela, karena hakim yang memiliki kewenangan selama proses berlangsung | Sukarela, karena kesepakatan para pihaklah yang akan menentukan proses dan hasil |
Pihak Pemutus | Hakim | Para pihak |
Kekuatan | Mengikat dan memiliki kekuatan memaksa (eksekutorial), tapi dimungkinkan upaya hukum lanjutan (banding, kasasi) | Mengikat apabila terjadi kesepakatan sebagai kontrak/perjanjian dan tertutup upaya banding (final) |
Pihak ketiga | Adalah hakim yang ditetapkan oleh ketua Pengadilan dan umumnya tidak memiliki keahlian pada objek persengketaan | adalah mediator/pihak netral yang dipilih secara sukarela oleh para pihak dan biasanya memiliki keahlian pada objek persengketaan |
Aturan Pembuktian | Mengacu pada hukum acara yang sudah ada (formal) | Tidak ada khusus, tergantung prosedur yang disepakati para pihak |
Proses | Masing-masing pihak menyampaikan bukti hukum | Tawar-menawar melalui perundingan (negosiasi/dialog/musyawarah mufakat) |
Hasil | Berupa putusan hakim yang menyatakan satu pihak menang (benar) dan pihak lain kalah (salah). Pihak yang kalah masih dimungkinkan mengajukan upaya hukum lanjutan seperti banding, kasasi hingga Peninjauan kembali | Berupa kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam perjanjian atau kontrak yang dapat diperkuat menjadi akte autentik sampai pada ketetapan pengadilan |
Pelaksanaan | Harus terbuka untuk umum, jika tidak maka putusan hakim batal demi hukum. | Tertutup untuk umum, kecuali ada pihak-pihak yang disetujui para pihak untuk hadir |
Apabila mediasi dipilih sebagai cara untuk menyelesaikan konflik maka ada 3 asumsi yang perlu diketahui, yaitu:
Pertama, pilihan menggunakan mediasi harus merupakan kesepakatan semua pihak yang bersengketa, bukan hanya kesepakatan beberapa pihak, apalagi hanya kemauan salah satu pihak. Dengan kata lain, mediasi tidak boleh terjadi atas pemaksaan oleh satu atau beberapa pihak.
Kedua, karena mediasi hanya bisa dimulai dan diakhiri dengan kesepakatan para pihak, maka tidak ada faktor lain yang bisa menghentikannya kecuali oleh kesepakatan para pihak. Bencana alam maupun bencana sosial juga tidak bisa dijadikan alasan oleh satu atau beberapa pihak untuk menghentikan proses mediasi secara sepihak. Jika bencana memang mengganggu jalannya proses mediasi dan menyebabkan salah satu atau beberapa pihak tidak bisa mengikuti kelanjutan proses mediasi, maka penghentiannya tetap harus atas persetujuan dari pihak lain.
Ketiga, jika akan melakukan mediasi konflik sumber daya alam, maka mediator harus punya sensitifitas sosial selain penguasaan materi peraturan perundang-undangan dan teknis mediasi. Hal ini menjadi penting jika ingin membangun proses mediasi yang berkeadilan hukum dan sosial sekaligus. Asumsi ini berdasarkan alasan konflik sumber daya alam terjadi tidak semata-mata oleh adanya penerapan peraturan perundang-undangan yang dipaksakan tetapi juga oleh adanya relasi sosial yang timpang antara perusahaan dengan masyarakat setempat.