Mediasi Konflik sebagai Pendukung Pembangunan Berkelanjutan Sektor Sumber Daya Alam dan Agraria – Artikel dimuat dalam BangHerza.com

Konteks
Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan adanya keberlanjutan lingkungan hidup, pertumbuhan ekonomi,dan keberlanjutan fungsi sosial. Jika keberlanjutan lingkungan identik dengan upaya konservasi keanekaragaman hayati yang didorong oleh organisasi lingkungan hidup, keberlanjutan sosial identik dengan kemanfaatan dan resiko sosial bagi masyarakat, maka pertumbuhan ekonomi diidentikkan dengan kegiatan kelompok bisnis atau swasta. Dalam praktik sehari-hari, seringkali pertumbuhan ekonomi lebih dominan sebagai pertimbangan pembangunan dan mengalahkan keberlanjutan lingkungan hidup dan sosial.

Namun demikian, kelompok bisnis atau private sector sebenarnya juga sudah berupaya mengadopsi konsep pembangunan berkelanjutan dengan memasukan kelestarian lingkungan hidup dan sosial dalam program aktifitas pada lokasi bisnis maupun dalam manajemen rantai pasoknya (supply chain), salah satunya melalui pelaksanaan program corporate social responsibility (CSR). Lebih dari itu, banyak korporasi besar telah memiliki Departemen keberlanjutan (sustainability departement) yang programnya terhubung dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainability Development Goals / SDGs). Di beberapa korporasi berbasis sumber daya alam, seperti perkebunan dan kehutanan belakangan ini mengemas kebijakannya dengan sebutan kebijakan NDPE (No Deforestation, No Peatland, No exploitation).

Jika pelajari secara seksama, maka resiko tertinggi yang mengancam terwujudnya pembangunan berkelanjutan terleta pada keberlanjutan sosial atau kebijakan No exploitation. Dan kalau diamati lebih mendalam tantangan keberlanjutan sosial sangat berhubungan dengan kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun sebagai akibat dari pembangunan yang eksploitatif terhadap sumber daya alam.  Salah satu dampak nyata dari tantangan keberlanjutan sosial di Indonesia yaitu maraknya konflik atau sengketa agraria dan sumber daya alam, hampir setiap saat konflik yang terjadi di lapangan menghiasi pemberitaan media massa (pers) baik elektronik maupun cetak di Daerah dan Nasional, maupun media sosial. Konflik-konflik yang terjadi telah menyebabkan kerugian/kehilangan materil maupun immateril, telah menimbulkan duka bagi keluarga korban yang mengalami kekerasan, dan dendam.

Konflik-konflik yang muncul umumnya berangkat dari tumpang tindih penguasaan dan pemanfaatan (tenure conflict) hutan dan lahan di lapangan, baik terjadi antara masyarakat dengan pemegang ijin sektor kehutanan, perkebunan, perairan dan kelautan maupun pertambangan, maupun antara masyarakat dengan kawasan hutan negara terkait penetapan kawasan lindung dan konservasi. Konflik juga terjadi antara masyarakat dengan
masyarakat terkait tata batas kampung/desa dan klaim wilayah ulayat, baik daratan maupun perairan/laut.

Jika ditelisik mendalam, konflik-konflik ini terjadi karena: (1) adanya kebijakan-kebijakan sektoral yang satu sama lain masih banyak tumpang tindih, (2) Kebijakan tata ruang nasnasional hingga daerah yang tidak memberikan kepastian alokasi wilayah kelola untuk masyarakat desa yang ada disekitar dan di dalam kawasan hutan serta memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumber daya alam, (3) Belum efektifnya  lembaga- lembaga pemerintah di tingkat nasional, daerah dan tapak dalam pencegahan maupun penyelesaian konflik, (4) Kurang tersedianya sumber daya yang memiliki keterampilan dan siap bekerja sungguh-sungguh serta memiliki passion untuk menyelesaikan konflik tenurial di berbagai tingkatan, (5) Masih tingginya cara pandang pegiat sosial dan lingkungan dalam penyelesaian konflik yang bercorak kalah-menang (hitam-putih).

Terhadap kondisi tersebut, kelompok masyarakat sipil telah sejak lama mengingatkan pemerintah akan pentingan penyelesaian konflik-konflik tenurial ini. Pada tahun 2011 kelompok masyarakat sipil menyelenggarakan konferensi Tenurial kawasan hutan di Lombok, Nusa Tenggara Barat, dan berhasil merumuskan peta jalan (roadmap) sebagai rekomendasi kepada pemerintah, khususnya Kementerian Kehutanan ketika itu. Peta jalan ini menetakan pada 3 pilar yaitu (1) Percepatan pengukuhan kawasan hutan; (3) Perluasan ruang kelola masyarakat; (3) Penyelesaian konflik (termasuk pencegahan konflik baru).
Banyak Perkembangan pasca konferensi tenure dan peta jalan pembaharuan tenurial 2011, baik yang lahir dari inisiatif masyarakat sipil maupun pemerintah sendiri. Pada Tahun 2015 Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meresponnya dengan pembentukan Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat di bawah Direktorat Jendral Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan.

Untuk mengeveluasi berbagai capaian dan kendala pasca Konferensi Tenurial di Lombok, maka pada tahun 2017 kalangan masyarakat sipil kembali mengadakan konferensi nasional tenurial di Jakarta. Dalam konferensi ini, berbagai inisiatif pencegah dan penyelesaian konflik tenurial dievaluasi dan didorong untuk lebih dikuatkan, terutama melalui program-program strategis pembaharuan kebijakan yang berhubungan dengan program perhutanan sosial, reforma agraria dan pengakuan masyarakat adat dan desa, serta program
pengembangan dan penguatan ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar dan dalam kawasan hutan, termasuk masayarakat rentan yang tinggal di dalam ekosistem gambut.

Penulis dalam kapasitas sebagai praktisi Mediator pada Konferensi Tenurial tersebut berupaya mengarustamakan Mediasi sebagai mekanisme resolusi konflik sumber daya alam. Terdapat 4 pendekatan utama dalam penyelesaian konflik tenurial yang didorong untuk dikembangkan, yaitu : (1) Asesmen Konflik; (2) Fasilitasi dan Mediasi Konflik Secara Langsung; (3) Pelatihan-Pelatihan untuk penguatan kapasitas penyelesaian konflik tenurial melalui perundingan dan mediasi, dan; (4) Penguatan Kebijakan dan Kelembagaan Penyelesaian Konflik tenurial hingga ke tingkat daerah dan tapak. Banyak pembelajaran yang didapat selama berproses sebagai praktisi Mediator konflik sejak tahun 2008, maka penulis mengklasifikasi aktor-aktor utama dalam Konflik yang banyak terjadi di Indonesia, meliputi: (1)konflik masyarakat dengan korporasi Pemegang Ijin Konsesi di sektor sumber daya alam; (2) konflik antara Koperasi atau kelompok tani atau nelayan terkait program kemitraan; (3) konflik sesama masyarakat terkait dengan tata batas desa mapun wilayah adat, termauk konflik terkait penggunaan alat tangkap di kalangan nelayan; (4) konflik sesama pemegang ijin Konsesi; (5) konflik antara Masyarakat dengan Proyek pembangunan infrastruktur oleh pemerintah; (8) konflik antara Masyarakat dengan pengembang property.Dari pengalaman mediasi berbagai jenis konflik di tersebut, penulis dapat memetik pembelajaran menarik,
sebagai berikut:

Ragam Kesepakatan yang dihasilkan

Proses penyelesaian konflik tenurial menggunakan mekanisme mediasi sangat berbeda dengan mekanisme legal formal/pengadilan, karena sifatnya lebih fleksibel dan aturan main disepakati sendiri oleh para pihak. Kesepakatan bisa beragam untuk satu kasus bisa beragam, karena prinsip yang digunakan dalam mediasi adalah berupaya “memperbesar kue”, artinya pemenuhan kesepentingan masing-masing pihak tidak sematamata  fokus pada masalah substansi semata tapi bisa juga meliputi hal-hal lain yang terkait secara langsung
maupun tidak langsung. Beberapa kemungkinan yang dihasilkan dari proses Mediasi yang pernah dilakukan IMN, antara lain: Pengelolaan Bersama, Kemitraan Kehutanan, Perhutanan Sosial, Kompensasi, Kerjsama Bagi Hasil, Pemulihan, Program Pemberdayaan dan CSR, Rekrutmen TK Lokal, Revisi Tata Ruang, Revisi Tata Batas.

Kesepakatan Mediasi juga bisa meliputi hal-hal yang bersifat prasyarat untuk mencapai pemenuhan kesepakatan final, seperti: Penghentian Kegiatan Sementara, Penilaian Independen, Pencabutan Laporan, Penarikan Aparat, Permintaan Maaf, Sumpah Adat/Upacara Adat, Forum Komunikasi/Kolaborasi, Monitoring Bersama.

Bentuk Kesepakatan hasil Mediasi juga relatif fleksibel dan memungkinkan kepentingan para pihak terpenuhi walaupun tentu tidak 100%, Para pihak bisa menyepapakati penyelesaian melalui mekanisme Mediasi untuk hal-hal tertentu saja, sementara hal lain bisa diselesaikan melalui mekanisme di luar Mediasi. Jadi Kesepakatan bisa berbentuk : kesepakatan penuh untuk semua isu atau masalah atau substansi, kesepatan untuk sebagian objek saja dalam hal terdapat beberapa objek yang ingin diselesaikan, atau kesepakatan untuk sebagian subjek saja dalam hal ada beberapa pihak yang terlibat dalam konflik. Pada Saat kesepakatan sudah dihasilkan, Mediator akan memfasilitasi para pihak berkonflik untuk menuangkan kesepakatan menjadi dokumen yang memenuhi standar umum sebuah kesepakatan atau perjanjian, yang dapat berupa: kesepakatan tertulis; kesepakatan diperkuat dengan akte notaris (Acta Authentic); kesepakatan diperkuat dengan putusan pengadilan (Acta Van Dading). Penekanan pilihan-pilihan ini penting untuk menghindari munculnya konflik lain di kemudian hari.

Dinamika Memastikan Objek dan Subjek
Seringkali perdebatan tentang status, letak, tata batas, luas dan riwayat klaim menjadi proses panjang di tahap awal mediasi, terutama dalam situasi dimana masing-masing pihak menggunakan sumber data dan informasi  yang berbeda. Mediator dalam kasus seperti ini tetap memberikan keleluasaan terlebih dahulu kepada masing-masing pihak untuk menyampaikan argumentasi yang menjadi landasan klaimnya, namun jika para pihak
mengarah pada kebuntuan baru kemudian Mediator menawarkan solusi. Solusi yang biasanya dipilih yaitu melakukan proses peninjauan bersama ke lapangan atau pemetaan partisipatif yang diikuti wakil dari masing-masing pihak berkonflik.

Adanya tuntutan di luar kewenangan Mediasi/Fasilitasi
Ekspektasi orang berkonflik biasanya adalah untuk menghasilkan target tertinggi dari kepentingannya. Namun kadangkala tanpa disadari tuntutan yang disampaikan sebenarnya sudah melampaui kewenangan yang dapat dihasilkan dari proses mediasi, misalnya minta dikeluarkan kawasan hutan, minta ijin perusahaan dicabut, atau minta pembebasan tahanan di Kepolisian. Dalam kondisi seperti ini Mediator dituntut harus mampu mengidentifikasi level kepentingan yang ada dibalik target atau tuntutan tertinggi pihak berkonflik, dan harus mampu membawa arah pembicaraan ke level kepentingan yang memungkinkan terjadi konsensus.

Adanya Perbedaan atau perpecahan internal dalam Masyarakat
Konflik yang sudah berlangsung lama seringkali menyebabkan terjadinya perpecahan di internal masyarakat, baik terjadi secara alamiah maupun intervensi/penetrasi langsung dari lawan konflik. Perpecahan yang terjadi kadangkala menyebabkan proses mediasi harus dihentikan sementara dan memberi kesempatan kepada mereka untuk menyelesaikan persoalan internalnya secara mandiri. Kadangkala Mediator diminta untuk membantu mempercepat penyelesaian, baru kemudian mediasi dapat dilanjutkan. Faktor penyebab perpecahan, terutama di Internal masyarakat sangat beragam, seperti keberpihakan pada perusahaan karena dipekerjakan, perolehan manfaat individu/keluarga/kelompok dari lawan konflik, perpecahan karena perbedaan dukungan politik ketika suksesi kepala kampung/desa/gampong, atau karena isu-isu yang sengaja bertujuan memecah-belah untuk tujuan-tujuan tertentu baik dari lawan politik maupun dari lawan konflik.

Adanya Perbedaan tafsir terhadap kebijakan yang dijadikan rujukan penyelesaian
Sebuah keniscayaan dalam konflik yang sudah berkepanjangan dan tidak terkelola dengan baik, dimana masing-masing pihak akan mencari kebijakan yang bisa melemahkan lawan dan memperkuat dirinya. Sehinggatafsir terhadap kebijakan yang dijadikan rujukan seringkali harus difasilitasi untuk mendapatkan tafsir yang sama. Pada kasus ini kehadiran pihak ketiga sebagai ahli sangat dibutuhkan untuk memberikan tafsir yang netral/independen. Namun sebelum ahli dihadirkan, Mediator harus mengajak para pihak menyepakati status dan kekuatan mengikat dari kesaksian ahli, pilihannya mengikat penuh atau hanya sebagai bahan pertimbangan para pihak berkonflik.

Munculnya Kekawatiran perbuatan masa lalu mengangkat sehingga memperngaruhi reputasi/karir Konflik seringkali diselesaikan secara parsial untuk menutupi perbuatan masa lalu yang bisa berakibat fatal bagi karir atau reputasi individu yang terlibat konflik. Kondisi ini biasanya terjadi pada Individu-Individu di perusahaan atau di pemerintahan.Bagi Mediator hal ini adalah kepentingan tersembunyi yang perlu diketahui

Open chat
1
Klik disini untuk info lebih lanjut
or scan the code
Klik disini untuk info lebih lanjut