JAKARTA, GRESNEWS.COM – Penyelesaian konflik agraria antara perusahaan dan warga setempat di berbagai wilayah negeri ini tidak pernah tuntas dan menyeluruh sesuai isi Reforma Agraria di Indonesia. Konflik agraria terbaru, terjadi antara warga dan Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) XI di Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), konflik agraria di lahan seluas 425 hektare antara warga dan pihak PTPN IX sudah berlangsung sejak 1965.

Delapan desa yang terlibat konflik meliputi Sukorejo, Jambeyan, Sambi, Dawung, Sambirejo, Kadipiro, Musuk dan Jetis. “Hingga saat ini konflik tanah Sambirejo belum menemui titik terang penyelesaian yang adil bagi warga,” kata Sekretaris Jenderal KPA Iwan Nurdin kepada Gresnews.com, Sabtu (29/3).

Baru-baru ini, tiga orang petani Sambirejo bernama Sunarji, Sarjimin dan Suparno, ditangkap dan ditahan di Polda Jawa Tengah sejak 22 Maret 2014. Penangkapan ketiganya terjadi di tengah proses mediasi berlangsung pada 18 Maret 2014 yang difasilitasi oleh Pemda Sragen. Mediasi dihadiri oleh warga Sambirejo, DanDim, Kapolres, Sekda, Asisten I Sekda, Yonif 408, Kantor Pertanahan Sragen, dan Direksi PTPN IX Semarang. Tujuan pertemuan untuk menyelesaikan kasus agraria di Sambirejo.

Akan tetapi, tidak lama berselang setelah mediasi tersebut, pihak PTPN IX malah mengerahkan 5.000 lebih karyawannya untuk melakukan pendudukan lahan, yang selama ini telah dikuasai dan digarap warga. Tindakan PTPN ini, kemudian memicu kericuhan antara warga dengan keamanan perkebunan. Pada 22 Maret 2014, Polres Sragen memanggil Sunarji, Sarjimin dan Suparno untuk dimintai keterangan mengenai kericuhan yang terjadi antara warga dan karyawan PTPN IX itu.

“Setelah memberikan keterangan, tiba-tiba tanpa dasar yang jelas pihak polres menetapkan ketiga petani tersebut sebagai tersangka, padahal Sunarji dan kawan-kawan yang melerai kedua belah pihak agar tidak terjadi benturan yang lebih parah,” kata Iwan. Ketiganya dituduh melakukan kekerasan terhadap orang (pihak PTPN-red) dan barang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 KUHP serta 406 KHUP.

Konflik agraria ini, kata Iwan, berawal dari upaya PTPN IX untuk memperluas lahan perkebunannya dengan cara menyewa tanah warga namun tidak pernah berhasil. Warga yang sudah memiliki tanah secara sah berdasarkan SK No.2971X1172/DC/64 dan 3891z/173/72/DC164 yang dikeluarkan oleh Kepala Inspeksi Agraria Daerah Jawa Tengah (KINAD) pada 4 Januari 1964, tidak pernah memberikan tanah tersebut untuk disewa oleh PTPN.

Namun meletusnya peristiwa pemberontakan PKI tahun 1965 dimanfaatkan oleh pihak PTPN untuk bisa menguasai tanah warga. Pihak PTPN IX, kata Iwan, menyebarkan isu bahwa semua warga yang mempertahankan tanahnya adalah anggota PKI. Lewat penyebaran itu, tanah yang dikuasai oleh warga dengan mudah dirampas oleh PTPN dan mengganti semua tanaman menjadi tanaman karet. “Pertengahan tahun 2000, warga mulai memperjuangkan hak atas tanah yang telah dirampas PTPN IX agar bisa mereka kelola,” ujarnya.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh warga, mulai dengan menemui pejabat desa, provinsi sampai ke pemerintahan pusat, seperti DPR RI, Komnas HAM, Ombudsman, Kementrian Keuangan, Kementrian BUMN, Kementrian Pertanian dan Kementrian Dalam Negeri. Atas berbagai upaya tersebut, DPR sempat membentuk Pansus Pertanahan untuk menyelesaikan kasus pertanahan di Sambirejo pada 15 Januari 2005, tetapi hingga kini kerja pansus ini tidak mencapai penyelesaian yang tuntas.

Reporter : Karim Siregar
Redaktur : Muhammad Agung Riyadi

 

Open chat
1
Klik disini untuk info lebih lanjut
or scan the code
Klik disini untuk info lebih lanjut