Dibutuhkan Satu Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Alam

www.hukumonline.com. KPK mengingatkan pengelolaan sektor kehutanan tak bisa ditangani secara sektoral saja. Alias bukan hanya kewajiban Kementerian Kehutanan (Kemenhut). Perlu pemahaman dan tindakan nyata secara lintas sektoral namun dalam satu kebijakan untuk mengelola salah satu sumber kekayaan alam Indonesia itu.

Pendapat KPK itu dilandasi kenyataan bahwa Direktorat Jenderal Planologi Kemenhut yang tak kunjung tuntas melaksanakan secara nyata hasil kajian pengelolaan kehutanan yang dilakukan KPK. Kajian KPK itu bertajuk Kajian Sistem Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Hutan pada Ditjen Planologi Kemenhut tahun 2010.

“Pengalaman selama hampir dua tahun itu menunjukkan bahwa upaya keras Ditjen Planologi membenahi sektor kehutanan perlu dukungan dari kementerian/lembaga dan stakeholders terkait,” ujar Wakil Ketua KPK Busyro Muqqodas saat membuka semiloka di Jakarta, Kamis (13/12).
Busyro menambahkan, semiloka bertajuk ‘Menuju Kawasan Hutan yang Berkepastian Hukum dan Berkeadilan’, menjadi ajang kementerian/lembaga dan pemangku kepentingan bertemu. Kemudian menyampaikan masalah yang dihadapi terkait pengelolaan salah satu sumber daya alam, yaitu kehutanan.
Peneliti di Direktorat Litbang KPK Dian Patria menguraikan hambatan Ditjen Planologi menuntaskan saran perbaikan dari komisi. “Semisal belum adanya satu peta tunggal yang menjadi acuan semua pihak untuk mengetahui standar pengelolaan dan tapal batas,” paparnya.
Sedangkan Kemenhut hanya menyanggupi untuk membuat peta tunggal Pulau Jawa saja, imbuhnya. Karena itu peta dasar diserahkan pada Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk membuatnya, berdasarkan UU No.4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial hingga mencapai ukuran 1:50 ribu.
KPK mengapresiasi tindakan berani BIG yang meminta Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Permintaan agar kementerian/lembaga yang mengajukan anggaran terkait pembuatan peta sektoral, tak lagi disetujui.
Dian sampaikan pula, Kemenhut belum optimal membangun sistem pelayanan informasi itu menjadi satu atap dan satu pintu. Kemenhut berdalih pusat pelayanan perizinan itu ada di lantai tiga gedung kementerian. “Baru tahun 2013 pusat pelayanan itu akan mereka pindahkan di lobby gedung Kemenhut,” lanjut Dian.
KPK berharap, saran perbaikan bagi Ditjen Planologi untuk perencanaan pengelolaan kehutanan segera dilaksanakan. Menurutnya, makin lama saran perbaikan KPK tak dihiraukan, maka sumber daya hutan dalam negeri. Tujuannya mengurangi dampak buruk salah urus pengelolaan kehutanan.
“Kalau dibiarkan, maka celah-celah korupsi dari oknum yang punya uang dan kuasa mengeksploitasi hutan tak terhentikan,” tuturnya.
Dia mengingatkan menurut data Kemenhut, baru sekitar 11 persen kawasan hutan di Indonesia berstatus clear and clean. Artinya bisa dipantau pemerintah dan dikuasai negara. Sedangkan 89 persen lahan belum jelas statusnya dan berpotensi bisa dieksploitasi secara tidak bertanggungjawab.
Sektor kehutanan memiliki peran strategis dalam pembangunan nasional. Total luas kawasan hutan mencapai 120 juta hektare, meliputi 70 persen wilayah darat Indonesia. Sedangkan tekanan populasi mencapai 240,271 juta jiwa dengan pertumbuhan 1,13 persen ditambah pertumbuhan ekonomi rata-rata 4,21 persen per tahun, mengakibatkan konflik penggunaan ruang.
Sedangkan sisa kawasan hutan untuk sektor nonkehutanan sangat besar. Sengketa lahan menjadi fenomena yang terus berulang dari tahun ke tahun. Akibatnya, konflik tersebut menyebabkan terganggunya kehidupan bangsa karena sekitar 31 ribu desa menggantungkan hidup berinteraksi dengan hutan. Lalu, terancam untuk membangun komitmen nasional mengurangi emisi hingga 41 persen. Juga hak rakyat terancam untuk mengakses hak asasi sosial ekonomi budaya dan berpotensi memacu konflik horizontal.
Pakar hukum agraria, Maria SW Sumardjono di tempat sama menilai eksploitasi sumber daya alam seperti kekayaan hutan karena negara memang membiarkan. Pembiaran itu tampak tumpang tindih peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan sumber daya alam.
Pakar hukum FH UGM ini meminta Presiden turun tangan akan carut marut pengelolaan sumber daya alam akibat tumpang tindih peraturan perundang-undangan. “Presiden harus bertindak berdasarkan Tap MPR No.IX/MPR/2001,” ujarnya di tempat sama.
Ketetapan MPR itu, lanjut Maria, mengamanatkan Presiden bersikap pada undang-undang sektoral yang saling bertabrakan dan tidak prorakyat untuk dicabut. “Kalau tidak, ya moratorium saja lalu kementerian/lembaga dikumpulkan untuk membuat satu peraturan yang mengatur pengelolaan sumber daya alam, agar ada satu kebijakan,” paparnya.
Pakar hukum tata negara, Saldi Isra mengingatkan tak hanya kelalaian Presiden saja yang menjadi penyebab tumpang tindih peraturan mengenai pengelolaan sumber daya alam. “Pembahasan undang-undang di DPR juga terkotak-kotak, harus didesak juga legislatif itu untuk duduk bersama membahas rancangan undang-undang,” sindirnya.
Oleh : LEO WISNU SUSAPTO.

Sumber :

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50cb2890e65d8/dibutuhkan-satu-kebijakan-pengelolaan-kekayaan-alam

Open chat
1
Klik disini untuk info lebih lanjut
or scan the code
Klik disini untuk info lebih lanjut