Ada yang khusus di Kantor Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, di Jakarta Selatan, Senin (12/5). Siang itu, Gubernur DKI Jakarta yang juga Calon Presiden 2014 dari PDI-P Joko Widodo mendatangi bangunan yang menjadi pusat gerakan advokasi kasus-kasus lingkungan di seluruh Indonesia itu.
Pertemuan Jokowi dengan Direktur Eksekutif Nasional Walhi Abetnego Tarigan beserta pengurus lainnya berlangsung tertutup bagi media. Pertemuan dilakukan di lantai atas Ruang Perpustakaan Walhi. Di ruang sekitar 5 meter x 4 meter itu, Jokowi ditemani beberapa anggota stafnya, banyak mendengar, sesekali bertanya kepada para aktivis Walhi.
Memanfaatkan pertemuan 30 menit itu, Walhi memaparkan berbagai isu lingkungan, konflik kepemilikan lahan (tenurial), dan pengelolaan sumber daya alam yang harus dihadapi presiden terpilih mendatang. Dari berbagai isu itu, Jokowi sepertinya tertarik pada isu tenurial.
Setidaknya, terlihat dari tegasnya persetujuan pria asal Solo itu akan pentingnya pembentukan badan khusus atau lembaga penyelesaian konflik. ”Konflik yang terkait sumber daya alam dan agraria ini banyak sekali dan harus diselesaikan. Saya setuju dengan Walhi ada badan tersendiri yang menyelesaikan lingkungan (dan agraria) dengan target dan waktu,” kata dia, seusai pertemuan.
Menurut Jokowi, pembentukan badan khusus itu penting. Sebab, hampir setiap instansi kementerian serta pemerintah daerah, punya divisi masing-masing. Itu membuat masyarakat kebingungan menyampaikan masalah konfliknya. ”Kalau masyarakat punya masalah agrarian, mau ke mana? Kehutanan, (Kementerian) ESDM, atau BPN. Lalu yang menyelesaikan siapa?” ujarnya.
Abetnego mengatakan, badan bersifat ad hoc itu diperjuangkan Walhi sejak 10 tahun terakhir. ”Berdasarkan data Mabes Polri, jumlah konflik agraria jauh lebih besar dibanding konflik agama atau politik,” kata dia.
Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN 2012), dari 7.196 kasus pertanahan, baru 4.291 kasus yang selesai. Tahun 2013 terjadi penambahan 1.881 kasus baru.
Itu baru di tanah berstatus teregister sebagai hak guna atau hak milik. Belum di kawasan hutan yang dikuasai negara dan mencaplok tanah adat atau masyarakat sekitar hutan.
Adapun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2013 menangani 369 konflik agraria dengan luasan 1,28 juta hektar melibatkan 139.874 keluarga. Konflik itu di areal perkebunan, pertambangan, dan kehutanan.
Konflik itu tak sedikit menimbulkan korban jiwa atau luka-luka. Berhadapan dengan hukum pidana atau kriminalisasi pun tak jarang dialami masyarakat yang protes atau memperjuangkan haknya.
Kondisi itu seharusnya bisa dieliminasi dan tak perlu terjadi jika penyelenggara negara menjalankan agenda Ketetapan MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA. Pasal 6 Tap MPR itu memberikan arahan detail mencapai pembaruan agraria.
Beberapa di antaranya mengkaji ulang peraturan dan sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan. Poin lain, menata kembali penguasaan, kepemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah bagi rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan.
Sejak negara ini ada, serentetan kasus tenurial belum terselesaikan. Konflik/perebutan ruang untuk hidup, berusaha, dan berbudaya bahkan kian jadi bola liar yang kian sulit dicegah.
Jokowi menyebutkan, isu lingkungan merupakan isu besar bukan hanya di Indonesia. Jika persoalan ekologi diabaikan, akan menjadi bencana, seperti banjir Jakarta. Untuk itu, Jokowi sepakat, bukan hanya perlu badan khusus menangani konflik terkait sumber daya alam, tetapi perlu juga memperkuat KLH. Semua bermula di Jakarta Selatan. (ICH/ILO)
Sumber :
http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006591789